-->

Maulid Nabi Muhammad SAW, Meneladani Kepemimpinan Rasulullah

Peringatan kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW kali ini diselimuti duka mendalam akibat tindak kekerasan dan terorisme yang menimpa umat Islam ketika sedang melaksanakan shalat Jumat di masjid di Rawda, Sinai Utara, Mesir.

Idealnya Maulid Nabi Muhammad SAW diperingati dan dimaknai dengan spirit aktualisasi visi Islam //rahmatan li al-‘alamin// (agama cinta dan kasih sayang bagi semesta raya).

Makna Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW


Spirit ini meniscayakan hidup damai, harmoni, dan penuh toleransi karena substansi ajaran yang dibawanya adalah ajaran salam (damai, harmoni), penuh toleransi, dan antikonfrontasi.

Karena itu, pesan damai dan harmoni dalam Maulid Nabi SAW sangat penting dikontekstualisasikan dengan nalar kebangsaan, kebinekaan, persatuan, dan keutuhan NKRI.

Ketika peringatan maulid dicetuskan dan digelorakan Shalahuddin al-Ayyubi, tujuan utamanya adalah harmonisasi dan integrasi umat, demi terwujudnya perdamaian dunia dan kejayaan peradaban Islam yang bervisi kemanusiaan.

Resolusi Konflik Dialogis ala Nabi Muhammad SAW
Sebelum diangkat menjadi ra­sul, Muhammad pernah mem­beri teladan dialogis yang suk­s­es melakukan resolusi kon­flik antarsuku yang nyaris ber­akhir dengan konfrontasi fisik. Saat itu semua suku Arab di se­ki­tar Kota Mekkah saling berebut “geng­si sosial” untuk mele­tak­kan kembali Hajar Aswad yang ter­empas dari posisinya akibat ban­jir bandang. Setiap suku me­ra­sa berhak menempatkannya kem­b­ali pada posisi semula. S­e­mua bersitegang dan merasa be­n­ar sendiri-sendiri. Untunglah, di­capai kata sepakat bahwa orang pertama yang masuk Mas­­jidilharam dipercaya me­nye­lesaikan konflik itu. Mu­ham­mad, pemuda yang waktu ma­suk masjid pertama kali, tam­pil memberi solusi dengan ter­lebih dahulu berdialog de­ngan para kepala suku.

Hasil dialog itu dilanjutkan de­ngan menggelar sorban be­liau, lalu Hajar Aswad dile­tak­kan di atasnya dan diangkat se­ca­ra bersama-sama menuju po­si­si­nya. Semua aspirasi di­ako­mo­da­si, dan semua diberikan hak­n­ya. Tin­dak kekerasan an­tar­suku da­pat dihindari. D­e­ngan resolusi kon­flik dialogis­nya, Mu­ham­mad sukses se­ba­gai problem solver,  bukan trouble maker.

Resolusi konflik dialogis itu mem­­buat beliau meraih leg­i­ti­ma­­s­i sosial dan gelar kemuliaan “al-Amin Award “ (Orang yang sa­­ngat dapat dipercaya). Dialog da­lam menyelesaikan per­soal­an me­rupakan solusi damai yang da­pat mengakomodasi se­mua pi­hak dengan win-win so­lu­tion. Pe­mimpin tepercaya (al-Amin) pas­ti berusaha mencari so­lusi ter­hadap berbagai per­soal­an se­ca­ra dialogis dan da­mai sekaligus me­ngedepankan ke­pentingan ra­k­yatnya, bukan ke­pentingan go­longan dan partainya.

Setelah diangkat menjadi ra­sul, Nabi SAW membuktikan di­ri­nya sebagai pemimpin yang ju­jur dan benar (shidq), dapat di­per­caya, akun­tabel (amanah), ter­­buka dan ko­mu­ni­ka­tif (ta­b­ligh), serta c­er­das dalam m­e­ma­hami dan memper­juangk­an ke­ma­juan ma­sya­ra­katnya (fa­tha­nah). Ka­ta kunci dari ke­ber­­ha­sil­an Rasul da­lam memimpin umat adalah ke­lu­hur­an akhlak dan ke­teladanannya yang baik, ber­satunya an­ta­ra kata dan per­buat­­an nyata. Beliau ti­dak mu­dah me­ng­obral janji dan gemar me­­lakukan pen­ci­tra­an, tetapi se­lalu ter­de­pan dalam mem­be­ri us­wah hasanah (tel­adan ter­baik) ba­gi umatnya.


Add Your Comments

Disqus Comments